A. Pendahuluan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan kebijakan pendidikan yang amat populer. Para pejabat sering menyampaikannya dalam berbagai kesempatan pidato di depan para guru dan kepala sekolah. Bahkan orangtua siswa pun telah banyak mengenalnya dari pengurus Komite Sekolah atau memperolehnya dari kesempatan pelatihan. Tetapi, apakah semua pemangku kepentingan (stakeholder) itu mamang benar-benar memahami apa dan bagaimana MBS dilaksanakan di sekolah? Istilahnya memang cukup singkat dan padat. Kalau dibalik, MBS menjadi nama aslinya, yaitu School-Based Management (SBM). MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah. Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material. Singkat kata, ruh MBS sesungguhnya adalah pemberian otonomi kepada sekolah dalam pelaksanaan manajemen. Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan kebijakan pendidikan yang amat populer. Para pejabat sering menyampaikannya dalam berbagai kesempatan pidato di depan para guru dan kepala sekolah. Bahkan orangtua siswa pun telah banyak mengenalnya dari pengurus Komite Sekolah atau memperolehnya dari kesempatan pelatihan. Tetapi, apakah semua pemangku kepentingan (stakeholder) itu mamang benar-benar memahami apa dan bagaimana MBS dilaksanakan di sekolah? Istilahnya memang cukup singkat dan padat. Kalau dibalik, MBS menjadi nama aslinya, yaitu School-Based Management (SBM). MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah. Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material. Singkat kata, ruh MBS sesungguhnya adalah pemberian otonomi kepada sekolah dalam pelaksanaan manajemen. Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.
B. Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah
Istilah manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Catatan: sumber daya terbagi menjadi sumber daya manusia dan sumber daya selebihnya (peralatan, perlengkapan, bahan/material, dan uang); input manajemen terdiri dari tugas, rencana, program, limitasi yang terwujud dalam bentuk ketentuan-ketentuan. Pengertian manajemen tersebut, dapat dilukiskan seperti pada Gambar 1 berikut, dengan keterangan: SDM-M (sumberdaya manusia manajer) mengatur sumber daya manusia pelaksana (SDM-P) melalui input manajemen yang terdiri dari (T = Tugas; R = Rencana, P = Program; T3 = Tindakan Turun Tangan; K = Kesan) agar SDM-P menggunakan jasa manusianya (Jm) untuk bercampur tangan terhadap sumber daya selebihnya (SD-slbh), sehingga proses dapat berlangsung dengan baik untuk menghasilkan output. Berbasis berarti “berdasarkan pada” atau “berfokuskan pada”. Sekolah adalah suatu organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan “bekal kemampuan dasar” kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesionalistik (kualifikasi, untuk sumber daya manusia; spesifikasi untuk barang/jasa, dan prosedur-prosedur kerja).
Manajemen berbasis sekolah bertujuan untuk “memberdayakan” sekolah, terutama sumber daya manusianya (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat sekitarnya), melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas, dan sumber daya lain untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan. Ciri-ciri sekolah yang “berdaya” pada umumnya: tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah; bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif sekaligus; memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dsb.); bertanggungjawab terhadap hasil sekolah; memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen (T,R,P,L,T3,K) dan sumber dayanya; kontrol terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan dinilai oleh pencapaian prestasinya. Selanjutnya, bagi sumber daya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya, memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggung jawab, dia memiliki suara bagaimana sesuatu dikerjakan, pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya dimana, dia memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan bagian hidupnya.
Lunenburg C Fred and Ornstein C Allan menemukan empat model MBS dari hasil penelitiannya, yaitu: (1). Kontrol administratif, kepala sekolah dominan sebagai representasi dari administrasi pendidikan. (2). Kontrol profesional, pendidik menerima otoritas. (3). Kontrol masyarakat, kelompok masyarakat dan orangtua peserta didik, melalui Komite Sekolah, terlibat dalam kegiatan sekolah.
Kontrol secara seimbang, orangtua siswa dan kelompok profesional (kepala sekolah dan pendidik) saling bekerja sama secara seimbang. Keempat model MBS tersebut sebenarnya merupakan berbagai varian yang muncul dalam proses pemberian otonomi. Para ahli sepakat, bahwa MBS harus dapat menjadi dasar pijakan bagi pengelolaan pendidikan dan hendaklah dengan strategi berikut : a) Sekolah harus memiliki otonomi empat hal; 1) dimilikinya kekuasaan dan kewenangan; 2) Pengembangan pengetahuan yang berkesinambungan; 3) akses informasi ke segala bagian, dan 4) pemberian penghargaan kepada setiap orang yang berhasil. b) Adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan, dalam proses pengambilan keputusan terhadap kurikulum dan instruksional serta non-instruksional. c) Adanya kepemimpinan kepala sekolah yang mampu menggerakkan dan mendayagunakan setiap sumber daya sekolah secara efektif. d) Adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan dewan sekolah yang aktif. e) Semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawbanya secara sungguh-sungguh. f) Adanya guidelines (garis pedoman) dan departemen terkait sehingga mampu mendorong proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif. Guidelines itu jangan sampai berupa peraturan- peraturan yang mengekang dan membelenggu sekolah. g) Sekolah harus memiliki transparansi dan akuntabilitas yang minimal diwujudkan dalam laporan pertanggung jawaban setiap tahunnya. h) Penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapatan kinerja sekolah dan lebih khusus lagi adalah meningkatkan pencapaian belajar siswa. i) Implementasi diawali dengan sosialisasi dan konsep MBS, identifikasi peran masing-masing, mengadakan pelatihan-pelatihan terhadap peran barunya, implementasi pada proses pembelajaran, evaluasi atas pelaksanaan di lapangan dan dilakukan perbaikan-perbaikan. Di samping potensi untuk berhasil yang dimiliki sistem MBS, juga dikemukakan empat macam kegagalan implementasi, yaitu: (1). Sekolah mengadops model apa adanya tanpa upaya kreatif. (2). Kepala sekolah bekerja berdasarkan agendanya sendiri tanpa memperhatikan aspirasi seluruh anggota dewan sekolah. (3). Kekuasaan pengambilan keputusan terpusat pada satu pihak dan cenderung semena-mena. (4).Menganggap bahwa MBS adalah hal biasa dengan tanpa usaha yang serius akan berhasil dengan sendirinya.
Oleh karena itu, strategi utama yang perlu ditempuh dalam melaksanakan manajemen berbasis sekolah adalah sebagai berikut: a) Mensosialiasikan konsep manajemen berbasis sekolah keseluruh warga sekolah, yaitu guru, siswa, wakil-wakil kepala sekolah, konselor, karyawan dan unsur-unsur terkait lainnya (orangtua murid, pengawas, wakil kandep, wakil kanwil, dsb). b) Melakukan analisis situasi sekolah dan luar sekolah yang hasilnya berupa tantangan nyata yang harus dihadapi oleh sekolah dalam rangka mengubah manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah. c) Merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai dari pelaksanaan manajemen berbasis sekolah berdasarkan tantangan nyata yang dihadapi. d) Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. e) Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, and Threat). f) Memilih langkah-langkah pemecahan (peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap.
Istilah manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Catatan: sumber daya terbagi menjadi sumber daya manusia dan sumber daya selebihnya (peralatan, perlengkapan, bahan/material, dan uang); input manajemen terdiri dari tugas, rencana, program, limitasi yang terwujud dalam bentuk ketentuan-ketentuan. Pengertian manajemen tersebut, dapat dilukiskan seperti pada Gambar 1 berikut, dengan keterangan: SDM-M (sumberdaya manusia manajer) mengatur sumber daya manusia pelaksana (SDM-P) melalui input manajemen yang terdiri dari (T = Tugas; R = Rencana, P = Program; T3 = Tindakan Turun Tangan; K = Kesan) agar SDM-P menggunakan jasa manusianya (Jm) untuk bercampur tangan terhadap sumber daya selebihnya (SD-slbh), sehingga proses dapat berlangsung dengan baik untuk menghasilkan output. Berbasis berarti “berdasarkan pada” atau “berfokuskan pada”. Sekolah adalah suatu organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan “bekal kemampuan dasar” kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesionalistik (kualifikasi, untuk sumber daya manusia; spesifikasi untuk barang/jasa, dan prosedur-prosedur kerja).
Manajemen berbasis sekolah bertujuan untuk “memberdayakan” sekolah, terutama sumber daya manusianya (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat sekitarnya), melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas, dan sumber daya lain untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan. Ciri-ciri sekolah yang “berdaya” pada umumnya: tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah; bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif sekaligus; memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dsb.); bertanggungjawab terhadap hasil sekolah; memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen (T,R,P,L,T3,K) dan sumber dayanya; kontrol terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan dinilai oleh pencapaian prestasinya. Selanjutnya, bagi sumber daya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya, memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggung jawab, dia memiliki suara bagaimana sesuatu dikerjakan, pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya dimana, dia memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan bagian hidupnya.
Lunenburg C Fred and Ornstein C Allan menemukan empat model MBS dari hasil penelitiannya, yaitu: (1). Kontrol administratif, kepala sekolah dominan sebagai representasi dari administrasi pendidikan. (2). Kontrol profesional, pendidik menerima otoritas. (3). Kontrol masyarakat, kelompok masyarakat dan orangtua peserta didik, melalui Komite Sekolah, terlibat dalam kegiatan sekolah.
Kontrol secara seimbang, orangtua siswa dan kelompok profesional (kepala sekolah dan pendidik) saling bekerja sama secara seimbang. Keempat model MBS tersebut sebenarnya merupakan berbagai varian yang muncul dalam proses pemberian otonomi. Para ahli sepakat, bahwa MBS harus dapat menjadi dasar pijakan bagi pengelolaan pendidikan dan hendaklah dengan strategi berikut : a) Sekolah harus memiliki otonomi empat hal; 1) dimilikinya kekuasaan dan kewenangan; 2) Pengembangan pengetahuan yang berkesinambungan; 3) akses informasi ke segala bagian, dan 4) pemberian penghargaan kepada setiap orang yang berhasil. b) Adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan, dalam proses pengambilan keputusan terhadap kurikulum dan instruksional serta non-instruksional. c) Adanya kepemimpinan kepala sekolah yang mampu menggerakkan dan mendayagunakan setiap sumber daya sekolah secara efektif. d) Adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan dewan sekolah yang aktif. e) Semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawbanya secara sungguh-sungguh. f) Adanya guidelines (garis pedoman) dan departemen terkait sehingga mampu mendorong proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif. Guidelines itu jangan sampai berupa peraturan- peraturan yang mengekang dan membelenggu sekolah. g) Sekolah harus memiliki transparansi dan akuntabilitas yang minimal diwujudkan dalam laporan pertanggung jawaban setiap tahunnya. h) Penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapatan kinerja sekolah dan lebih khusus lagi adalah meningkatkan pencapaian belajar siswa. i) Implementasi diawali dengan sosialisasi dan konsep MBS, identifikasi peran masing-masing, mengadakan pelatihan-pelatihan terhadap peran barunya, implementasi pada proses pembelajaran, evaluasi atas pelaksanaan di lapangan dan dilakukan perbaikan-perbaikan. Di samping potensi untuk berhasil yang dimiliki sistem MBS, juga dikemukakan empat macam kegagalan implementasi, yaitu: (1). Sekolah mengadops model apa adanya tanpa upaya kreatif. (2). Kepala sekolah bekerja berdasarkan agendanya sendiri tanpa memperhatikan aspirasi seluruh anggota dewan sekolah. (3). Kekuasaan pengambilan keputusan terpusat pada satu pihak dan cenderung semena-mena. (4).Menganggap bahwa MBS adalah hal biasa dengan tanpa usaha yang serius akan berhasil dengan sendirinya.
Oleh karena itu, strategi utama yang perlu ditempuh dalam melaksanakan manajemen berbasis sekolah adalah sebagai berikut: a) Mensosialiasikan konsep manajemen berbasis sekolah keseluruh warga sekolah, yaitu guru, siswa, wakil-wakil kepala sekolah, konselor, karyawan dan unsur-unsur terkait lainnya (orangtua murid, pengawas, wakil kandep, wakil kanwil, dsb). b) Melakukan analisis situasi sekolah dan luar sekolah yang hasilnya berupa tantangan nyata yang harus dihadapi oleh sekolah dalam rangka mengubah manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah. c) Merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai dari pelaksanaan manajemen berbasis sekolah berdasarkan tantangan nyata yang dihadapi. d) Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. e) Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, and Threat). f) Memilih langkah-langkah pemecahan (peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap.
C. Kesimpulan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan kebijakan pendidikan yang amat populer. Bahkan orangtua siswa pun telah banyak mengenalnya dari pengurus Komite Sekolah atau memperolehnya dari kesempatan pelatihan. Istilahnya memang cukup singkat dan padat. Kalau dibalik, MBS menjadi nama aslinya, yaitu School-Based Management (SBM). MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah. Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material. Singkat kata, ruh MBS sesungguhnya adalah pemberian otonomi kepada sekolah dalam pelaksanaan manajemen. Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.
Istilah manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Berbasis berarti “berdasarkan pada” atau “berfokuskan pada”. Sekolah adalah suatu organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan “bekal kemampuan dasar” kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesionalistik (kualifikasi, untuk sumber daya manusia; spesifikasi untuk barang/jasa, dan prosedur-prosedur kerja).
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan kebijakan pendidikan yang amat populer. Bahkan orangtua siswa pun telah banyak mengenalnya dari pengurus Komite Sekolah atau memperolehnya dari kesempatan pelatihan. Istilahnya memang cukup singkat dan padat. Kalau dibalik, MBS menjadi nama aslinya, yaitu School-Based Management (SBM). MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah. Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material. Singkat kata, ruh MBS sesungguhnya adalah pemberian otonomi kepada sekolah dalam pelaksanaan manajemen. Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.
Istilah manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Berbasis berarti “berdasarkan pada” atau “berfokuskan pada”. Sekolah adalah suatu organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan “bekal kemampuan dasar” kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesionalistik (kualifikasi, untuk sumber daya manusia; spesifikasi untuk barang/jasa, dan prosedur-prosedur kerja).
0 komentar on Analisis Evaluatif Terhadap Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah :