Cerita rakyat Dayak Kalimantan Barat legenda bujakng
nyangko 2 - Setelah menjadi manusia biasa, dan tiba didunia ini,
Bujakng Nyangko berkunjung ke Kampung Pakana (sekarang wilayah Mempawah
Hulu-Landak). Di kampung ini hidup sepasang suami istri, yang tidak mempunyai
anak, suaminya bernama Ne Ragen, sehari-hari Ne Ragen, keluar masuk hutan untuk
berburu. Suatu hari (Sore) Ne’ Ragen menunggu binatang buruannya dibawah
sebatang pohon beringin (kayu ara), tiba-tiba dia mendengar suara tangisan bayi
diatas pohon tersebut, suara tangisan itu berasal dari bayi yang mati buyu’
(lahir prematur dan meninggal). Ne Ragen menjadi kasihan ketika mendengar
tangisan itu, lalu dia meletakan peralatan berburunya dan naik diatas pohon
beringin (kayu ara) tersebut dan mengambil anak itu, lalu dibawa pulang dan
dipeliharanya hingga menjadi dewasa, anak itu dinamaninya Doakng.
Setelah cukup umur Doakng disunat ketika selesai disunat Doakng berpantang,
selama tiga hari tiga malam, dia tidak boleh kemana-mana dan tidak boleh
memakanan daging binatang seperti pelanduk, kijang, rusa sapi dan kambing,
serta beberapa jenis pakis tertentu. Secara kebetulan pada hari yang ketiga
masa berpantang Doakng, datanglah seorang pemuda Laut Pakana, tetangganya
(Melayu, saat ini), bertamu kerumah Ne Ragen. Doakng kemudian berkata, pada
Pemuda itu, kalau kelaparan masaklah didapur, tetapi jangan masak sapi atau
kambing, kalu mau memasak barang sapi atau kambing itu, sebaiknya di dapur
lain, setelah berpesan demikian, Doakng tidur dengan senjata khas Dayak
Kanayatn (tangkin) yang teransah tajam terselip dipinggangnya dan disampingnya
tergeletak sumpit dengan mata sumpit yang diolesi getah ipuh.
Pemuda Laut tadi ternyata tidak menuruti pesan Doakng, dia memasak daging
kambing yang dibawanya dari rumah. Apa yang terjadi kemudian pemuda itu berubah
menjadi seekor kambing, dan ketika itu pula Doakng terbangun dari tidurnya,
sejenak dia lupa diri lalu mengambil senjata (tangkitn) dan memenggal kepala
kambing itu, hingga putus. Ketika sadar Doakng terkejut lalu dia berkata
putuslah kini lehermu hai kambing, wahai Jubata (Tuhan), saya bukan membunuh
manusia tetapi binatang, semoga dia tidak menjadi penyakit, menyentuh dan
menurunkan hal yang kotor dalam hidupku, karena dia mati sesuai dengan janji
dan takdir hidupnya. Doakng kemudian melaporkan kejadian ini kepada orang tua
dan sanak-saudara pemuda tadi. Mau bagaimana lagi, dia sudah meninggal sesuai
dengan takdirnya, kuburlah, demikian kata keluarga pemuda malang tersebut.
Beberapa hari kemudian setelah kejadian itu, Doakng minta belajar dan merantau,
kepada orang tuanya, dia kemudian minta dibuatkan baju bergambar, perisai,
tato, senjata (kapoa, jabakng, tato, tangkitn).
Semula Ne Ragen ayahnya, tidak menyetujui niat anaknya ini, tetapi karena
Doakng terus menerus memohon, akhirnya dia diijinkan pergi, hari pertama menjelang
keberangkatannya merantau Doakng mempersiapkan segala bekal dan perlengkapnnya,
hari kedua ia melakukan upacara adat untuk memanggil roh halus atau kamang,
untuk menyertainya dalam peperangan (mato), minta penyertaan dari Bujang
Nyangko, Kamang Lejak dan Kamang Nyado (roh-roh halus). Rasi (tanda-tanda alam)
yang diterimanya setelah mato sangat baik, maka dia kemudian berangkat subuh
pada hari ketiga, dia berjalan dan terus berjalan, menuruti langkah kakinya,
tanpa tujuan yang pasti, sampai disebuah hutan lebat dia beristirahat sejenak,
dan menyampaikan maksud dan tujuannya kepada roh-roh halus penghuni hutan
(lereng bukit), pertemuan dua dataran tinggi atau lembah (gantekng), bukit yang
tinggi, dan pohon yang besar.
Tidak lama setelah melakukan upacara tadi, disekitarnya terdengar suara
krasaak-krusuk yang berasal dari beberapa ekor binatang, Doakng pun bersiul
sebanyak tiga kali, binatang-binatang tersebut kemudian turun ketanah mencari
suara siulan tadi, Doakng kemudian membidikan sumpitnya kearah seekor binatang
yang paling dekat dengannya, dia siap menyumpitnya, tetapi kemudian binatang
itu tiba-tiba mati. Tidak lama kemudian muncul tiga orang, yang saling
berdebat, masing-masing mengakui bahwa dirinyalah yang menyumpit binatang tadi.
Masing-masing tidak mau kalah “akulah yang menyumpitnya”. Doakng bingung,
melihat perdebatan ini, tetapi akhirnya salah satu dari mereka bertiga, yang
ternyata adalah Bujakng Nyangko (Kamang yang menjelma menjadi manusia) berkata
: “baiklah kita serahkan pada Doakng saja hasil buruan ini, biar dia saja yang
memilikinya”.
Setelah mereka bertiga sepakat untuk menyerahkan binatang tadi pada Doakng,
mereka membuat perjanjian untuk bertemu kembali pada esok paginya disebuah
tempat perempatan (saka tumuk empat), teriakan perang (jika mendengar tariu)
tujuh kali, siluan tujuh kali dan tiuran suara elang (nguik) sebanyak tujuh
kali, cepatlah kamu datang, demikian pesan Bujakng Nyangko pada Doakng.
Keesokan harinya, ketika Doakng mendengar kode yang dijanjikan, dia kemudian bergegas
pergi ketempat pertemuan mereka diperempatan (saka tumuk ampat), dan mereka
menuju daerah tempat pengayauan. Tiga hari tiga malam lamanya, akhirnya
sampailah mereka di sebuah ladang, musuhnya, secara kebetulan disitu ada banyak
orang yang sedang bekerja secara gotong royong (balale). Diantara orang-orang
tersebut satu diantaranya adalah dukun belian (pamaliatn), yang mampu
menghidupkan mayat.
Mereka kemudian berperang melawan orang-orang tersebut dan menang, diantara
seluruh korban, hanya satu yang kepalanya kemudian di bawa yaitu kepala dukun
belian (pamalitan) tadi. Oleh ketiga kamang tadi, Doakng disuruh membawa kepala
itu dan berpesan kepadanya, sebelum sampai di rumah, dia harus teriak perang
(tariu), bersiul dan meniru suara elang (nguik) sebanyak tujuh kali.
Jangan masuk kerumah melalui tangga pintu dapur, jangan melewati bawah jemuran,
dan tidak boleh langsung masuk keruang tamu, Doakng harus masuk melalui tangga
depan, dan berhenti dipintu dan menari-nari, kepala harus diletakan pada tempat
khusus yang terbuat dari tembaga untuk meletakkan bahan persembahan (pahar
tembaga), tikar dari anyaman rotan dan kulit kayu (lantai dialas bide),
diletakan diatas tempayan besar berukir (tempayan jampa), lalu dipasangi
pelita. Ketika sampai di rumah, Doakng menuruti pesan ini, tetapi lain halnya
dengan Nyangko, dia lewat dari tepi jemuran, dan menari-nari melewati bawah
jemuran, seketika itu juga dia tewas, jasadnya disemayamkan satu hari satu
malam, lalu kemudian di kubur, pada saat itulah Kamang mengajari Doakng membuat
patung kayu (pantak), Pantak ditujukan untuk mengganti orang yang sudah
meninggal, arwah orang yang sudah meninggal itu kelak akan tinggal dalam pantak
(patung kayu) yang dibuat.
Kamang Nyado, kemudian mengajari Doakng membuat patung kayu (pantak) Kamang
Nyangko. Riti tujuh jengkal, kayu besi (belian) diukir dengan riti, didoakan
dengan seekor ayam jantan berbulu merah, dibentuk (dipahat) dengan tidak
dibolak-balik (posisi tetap), dipahat mulai dari kepala. Syarat (pangkaras)
untuk membuat pantak adalah ayam jantan berbulu merah satu ekor, parang,
beliung, pahat, besi untuk membuat lobang (bor), paha babi satu ekor, lalu
dipersembahkan, Doakng melakukan semua perintah kamang Nyado.
Setelah selesai menguburkan jasad Bujakng Nyangko, Doakng kemudianmelakukan
teriak perang (tariu) sebanyak satu kali untuk mencari kayu belian sebagai
bahan untuk membuat pantak, setelah dapat ia membawanya ke rumah dan dipahat
didepan pintu selama tiga malam, baru boleh dimasukan dalam rumah, menjelang senja,
setelah patung kayu (pantak) tersebut dimasukan kedalam rumah, dia
memperlakukannya seperti jasad manusia, dimandikan lalu mengurapinya dengan
minyak dan kemudian memberinya makan. Setelah itu dia kemudian membunyikan gong
dan dau, lalu menari. Pantak tadi tiba-tiba seperti bernyawa, lalu menari-nari
bersama Doakng, semalam suntuk.
Setelah semua ini selesai Doakng mengajari orang tuanya untuk membuat
pantak, dan ketika ayahnya meninggal (Ne Ragen), dia membuat patung kayu
(pantak) seperti yang dulunya dia buat untuk Kamang Nyangko. Pada saat Doakng
menari, dan Pantak itu ikut juga menari, ibunya tidak kuasa menahan sedihnya
ketika ditinggalkan suaminya (Ne Ragen), dipeluknya patung kayu (Pantak) Ne
Ragen yang sedang menari tersebut, lalu diciumnya. Hal itu sesungguhnya tidak
boleh dilakukan, tetapi semuanya sudah terlanjur. Patung kayu (Pantak) yang
tadinya bisa menari-nari, kemudian diam dan kembali seperti patung kayu biasa.
0 komentar on Cerita rakyat Dayak Kalimantan Barat legenda bujakng nyangko 2 :