Pro dan kontra MBS dan dampak negatif MBS - Ada beberapa hasil penelitian
yang dapat digolongkan sebagai pihak yang pro dan kontra terhadap MBS. Sebagai
contoh, Dimmock (1993) dan Caldwell (1994) menemukan bahwa MBS memiliki lima keunggulan
sebagai berikut:
- MBS adalah lebih demokratis. MBS memungkinan guru dan orangtua siswa dapat mengambil keputusan tentang pendidikan dengan cara-cara yang lebih demokratis daripada hanya sekedar memberikan kewenangan kepada orang-orang yang terbatas atau satu kelompok orang pada level pusat.
- MBS adalah lebih relevan.
- MBS adalah tidak birokratis.
- MBS memungkinkan untuk lebih memiliki akuntabilitas.
- MBS memungkinkan untuk dapat memobilisasi sumberdaya secara lebih besar.
Dalin (1994), Carron dan Chau
(1996) menemukan dalam penelitiannya bahwa kualitas pendidikan lebih ditentukan
oleh cara sekolah mengelola sumber daya ketimbang oleh ketersediaan sumber
dayanya sendiri. Sumber daya yang ada di sekolah boleh jadi akan menjadi mala
petaka bagi semua pihak jika kepala sekolah tidak dapat mengelolanya secara
transparan. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah kemampuan
kepala sekolah dalam meningkatkan proses belajar mengajar. Dengan demikian,
kedua faktor tersebut (ketersediaan sumber daya dan proses belajar mengajar)
harus dikelola secara profesional oleh pihak sekolah.
Penerapan MBS di sekolah di
banyak negara berkembang, walaupun bagaimana, sering tidak memperoleh dukungan
yang memadai dari pihak penguasa lokal maupun dari masyarakat. Pemerintah
daerah yang lemah tidak dapat diharapkan untuk mendukung pelaksanaan prinsip
manajemen modern (demokratis, transparan, dan akuntabel). Pelaksanaan MBS di
sekolah, seperti dalam mengelola dana BOS dan DAK, pihak kepala sekolah dan
Komite Sekolah masih juga memperoleh tekanan dari berbagai pihak. Campur tangan
pemerintah daerah pada umumnya bukan dalam bentuk supervisi yang positif,
tetapi justru berupa intervensi negatif. Bahkan, tidak sedikit kepala sekolah
yang dikejar-kejar ’wartawan amplop” yang sering nongkrong di sekolah untuk
menunggu datangnya kepala sekolah. Itulah sebabnya penerapakan MBS di sekolah
pada sisi yang lain menjadi ladang yang subur untuk tumbuhnya KKN di level
birokrasi yang paling bawah ini.
Itulah sebabnya, ada kepala
sekolah yang kemudian tidak mau pekerjaan manajemen yang berat ini, karena
alasan beban berat sebagai pemimpin instruksional (instructional leader) atau
pemimpin dalam bidang kependidikan (pedagogical leader) menjadi amburadul, lantaran
disibukkan oleh pekerjaan teknis administratif dan manajerial yang harus
dituntaskan setiap hari. Dengan beban pekerjaan yang berat ini, ada beberapa
kepala sekolah di SD yang terpaksa harus belanja komputer, buku pelajaran, alat
tulis kantor (ATK), karena SD tidak memiliki staf administrasi sebagaimana di
SMP dan SMA. Akibatnya, pelaksanaan MBS di sekolah menjadi dilema (Dempster,
2000). Bahkan penerapan MBS boleh jadi menimbulkan stres berat bagi kepala
sekolah (Whitaker, 2003 dan William, 2003).
Penerapan MBS ternyata juga
sarat dengan masalah bias gender. Limerick dan Anderson, 1999) menengarai
adanya masalah bias gender, karena banyak kepala sekolah wanita yang merasakan
keberatan untuk melaksanakan beban berat mengurus bidang administrasi dan
manajemen tersebut. Seorang kepala sekolah di SMA pernah mendatangi penulis dan
menjelaskan bahwa sekolahnya terpaksa menolak bantuan block grant dari
pemerintah. Alasannya sudah jelas, karena urusan teknis edukatif di sekolahnya
menurutnya menjadi tidak terurus dengan baik lagi.
Penerapan MBS juga mengalami
masalah, khususnya di daerah yang pedesaan atau daerah yang terpencil (remote
areas). Banyak orangtua siswa dan masyarakat di pedesaan yang tidak mau
terlibat dalam kegiatan Komite Sekolah. Masalahnya ternyata bukan hanya karena
masalah kapasitasnya yang rendah, tetapi lebih karena budaya yang hanya
menyerahkan bulat-bulat urusan pendidikan kepada pihak sekolah. Bahkan, dalam
beberapa kasus, penerapan MBS lebih sebagai instrumen politik untuk membangun
kekuasaan. Dengan MBS, seakan-akan pemerintah telah memberikan otonomi kepada
sekolah, padahal sesungguhnya sekolah dan masyarakat belum siap untuk menerima
semua itu. Hal yang sama pun terjadi di negara maju seperti di negara
bagian Australia. Representasi dari masyarakat kelompok minoritas dinilai kecil
dalam komposisi kepengurusan Komite Sekolah (Ferguson, 1998).
Dampak negatif yang sama terjadi
dalam pelaksanaan desentralisasi di Afrika Barat (Lugaz dan De Grouwe), dimana
penerapan MBS di sekolah justru dapat menyebabkan meningkatnya monopoli
kekuasaan di level pemerintah daerah. Orangtua dan pendidik hampir tidak punya
pengetahuan untuk mengontrol penggunaan uang sekolah yang telah diterima oleh
sekolah. Tidak adanya transparansi dalam penggunaan uang sekolah dari orangtua
siswa tersebut sering menimbulkan kesan terjadinya monopoli kekuasaan pada
level pemerintah daerah.
Sumber
Anton De Grauwe, 2005. Improving the Quality of Education through
School-Based Management: Learning from International Experiences. Hamburg:
International Institute for Education.
0 komentar on Pro dan kontra MBS dan dampak negatif MBS :